Long
Distance Relationship
Oleh
: Ira Novita Situmorang
Ini adalah hari pertama
perkuliahan Aluna Regita dimulai, cewek semata wayang keluarga Wijaya yang
terbilang kaya, biasa dipanggil Gita dengan tinggi badan 168 cm dan berat badan
yang ideal. Tepatnya di Universitas Bina Bangsa Jakarta, Jurusan Arsitektur.
Ada rasa deg-degan, takut, gembira dan senang. Nano-nano, semua rasa bercampur
menjadi satu. Segera Gita mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari pakaian,
perlengkapan kuliah dan sebagainya. Kemeja pendek yang sederhana berwarna merah
muda dipadu dengan rok hitam diatas lutut sengaja untuk memperlihatkan betisnya
yang putih dan mulus. Baginya memakai kemeja bukanlah style yang ketinggalan jaman, melainkan itu keren baginya.
Seperti biasanya,
setiap pagi Gita mengirim sms kepada Gio Harsa Ramadayu, akrab dipanggil Gio,
pacar Gita yang kuliah di Institut Teknologi Surabaya. Ya, tepatnya mereka
memiliki hubungan jarak jauh. Short
massage yang berisi selamat pagi dan kata-kata motivasi yang tentunya
membangkitkan semangat tak perlu ditunggu balasannya karena Gita tau kalau Gio
tak akan membalasnya. Hubungan mereka masih seumuran jagung dan Gita pun tak
sepenuhnya mengenal sifat Gio. Namun, itulah yang dinamakan cinta. Gita telah
jatuh hati pada Gio saat pertama kali bertemu di Taman Bunga. Cinta pertama
sekaligus pacar pertama. Apapun yang jadi kekurangannya tidak menjadi masalah
bagi Gita untuk setia dalam cinta. Gita yang tak begitu paham betul dengan yang
namanya asmara sudah berani menjejakkan hatinya pada Gio yang terkenal playboy dimana-mana. Tak sulit bagi
Gita, cewek supel dan ramah ini untuk
akrab dengan orang-orang baru yang muncul dihidupnya. Selang dua minggu Gita
telah mendapatkan teman-teman yang cantik dan baik pula. Mereka adalah Kristin,
cewek rantauan dari Medan. Ningsih, keturunan Jawa Sunda yang suaranya seperti
orang Batak kerasnya. Sandy, imut-imut bertubuh mungil dan Rianty, yang bodinya
tergede diantara mereka semua namun dia memiliki indra keenam yang bisa
mengetahui aura seseorang baik atau buruk. Menjalin persahabatan dengan mereka
tak semudah membalikkan telapak tangan sebab mereka semua memiliki sifat-sifat
yang berbeda dan kepribadian yang unik-unik tapi nyata. So, mereka harus dapat
beradaptasi satu sama lainnnya. Tiba-tiba ruang kuliah yang semula hening dikejutkan
oleh teriakan Ningsih yang mengguncang dunia.
“Woi, helo... Guys.. Aaarrrhhh !!!,” teriak Ningsih sambil
berlari dari koridor kampus menuju ruang kuliah.
“Ada apa sih Ning ?
Biasa aja napa,” tanya Gita.
“Iya, heboh banget,”
tambah Sandy.
“Hei, hei... Kalian tau
gak? Barusan aku liat mading,” kata Ningsih sambil ngos-ngosan dan nafas
terengah-engah.
“Trus, madingnya bilang
apa ama kamu?,” seru Rianty.
“Bego banget sih si Rianty,
mading mana bisa ngomong,” cibir Ningsih.
“Cepetan dong bilang
ada apa di mading?,” tanya Gita lagi tidak sabar.
“Tenang dong, ada info
buat mahasiswa stambuk baru, seminggu lagi diadakan kuliah alam di Puncak
Bandung, cuy!,” jawab Ningsih dengan gembiranya.
“Bah, keren juga itu,
berapa lama lah itu Ning ?,” sambung Kristin.
“Tiga hari guys, untuk info lebih lanjut sekarang
kita disuruh ngumpul di Aula Merdeka,” jawab Ningsih.
“Yaudah, let’s go lah,” ajak Sandy.
***
“Gila, yang bener aja
deh guys,” seru Rianty dengan nada kesal.
“Haha, udah ah, sekali
seumur hidup juga,” hibur Gita sambil nge-check
BBnya yang udah seharian nggak ada sms masuk. Harapan Gita agar Gio segera
menghubunginya sirna. Tak ada sms atau telepon yang masuk.
“Iya, tapi peralatan
yang mau dibawa tuh banyak kali! Udah kayak mau pindah kost aja kita dibuatnya.
Pusing aku bah!,” seru Kristin dengan khas Bataknya.
“Udah ah, bodoh amat!
Nggak bakalan kubawa semuanya”, ujar Rianty dengan mulut manyunnya
“Guys, duluan ya pulangnya,” ujar Gita dengan nada lemas.
“Kamu sakit, Git? Lesu
amat,” tanya Sandy.
“Gak kok, cuman lagi
capek aja,” jawab Gita datar.
“Okelah kalau gitu,
hati-hati ya. Ingat kita semua satu kelompok buat Kuliah Alam nanti,” seru
Sandy lagi.
“Oke bye,” kata Gita
sambil melambaikan tangan dan segera menuju parkiran mobil.
Dalam perjalanan
seperti biasanya Gita naik sedan Honda
Jazz putih pemberian Papanya. Sambil nyetir sambil berhayal. Itulah
kebiasaan buruknya kalau lagi galau karena Gio. Tapi jauh dalam lubuk hatinya
terdapat goresan luka, seakan-akan dia berperang dengan hati dan pikirannya.
“Gio emang cowok baik,
romantis juga kalau ngomong, tapi sayangnya dia cuek dan kurang perhatian sama
aku. Kalau disinggung dikit aja dia langsung marah trus kata-katanya itu,
aduh... sakit! Padahal kami berjauhan, walaupun dulunya dia playboy, dia kan udah janji sama aku
kalau dia gak kegatelan lagi sama cewek-cewek. Huft,. Kenapa semua jadi
berubah? Tuhan, kenapa sih jadi begini ? Ngapain juga dia nembak aku dulu? Huh!
Sebel deh!. Hati kecil Gita berbicara berperang dengan situasi yang dia alami
saat ini. Dengan tatapan kosong dia tetap menyetir hingga tak sadar bahwa
didepannya ada pertigaan dan sebuah motor Tiger
melaju kencang berlawanan arah hingga kecelakaan terjadi. Gita ngerem mendadak
dengan cepatnya, untungnya tidak terjadi apa-apa padanya. Hanya gesekan pada
plat BK mobil barunya itu. Sementara tak jauh dari mobilnya terjatuh seorang
pemuda dari motornya dan berusaha berdiri sambil membersihkan tubuhnya dari
debu dan tanah. Gita segera keluar dari mobilnya untuk membantu pemuda
tersebut.
“Aduh, maaf ya mas,”
kata Gita sambil menundukkan kepala dan dengan rasa takut bercampur cemas akan
keselamatan pemuda itu
“Nggak apa-apa kok
mbak,” sahut pemuda itu sambil mengambil helm yang berada disampingnya
Betapa terkejutnya
pemuda itu ternyata yang menabraknya adalah teman seperkuliahnnya yang selama
dia kuliah hanya Gita lah yang selalu diliriknya. Gita lebih terkejut lagi
karena pemuda yang ditabraknya nggak jadi marah-marah malahan dia terpana akan
ketampanan pria yang tak asing lagi sepertinya.
“Maaf ya mas, jadi buat
mas dan motor mas terluka,” kata Gita lagi
“Udah nggak masalah
kok. Hmm, kamu nggak kenal sama aku ya?,” tanya pemuda itu dengan yakinnya.
“Oh, ya? Apa kita
pernah bertemu? Tapi sepertinya aku pernah liat kamu deh, dimana ya?”, jawab
Gita sambil mengkerutkan dahi.
“Aku teman sekelas kamu
loh, mahasiswa sangkin egoisnya sampai teman sekelas pun nggak dikenal,” sahut
pemuda itu dengan nada kecewa
“Hahaha, bukan gitu
mas, aku kan duduknya selalu paling depan, jadi aku nggak pernah perhatiin yang
dibelakang,”.
“No problem kok, Git,”
“Kamu tau nama aku?
Nama kamu siapa?,”
“Geraldo Affandi.
Panggil aja Aldo”,
“Oh, aku Aluna Regita,
panggilanku emang Gita,”. Gita menyambut Aldo dengan mengulurkan tangannya
untuk berkenalan.
“By the way, kamu mau kemana Git?”, tanya Aldo
“Mau pulang. Ya ampun,
aku harus cepat Do. Sorry ya, kamu
nggak kenapa kan? Biar aku pulang duluan,” pinta Gita dengan nada memohon
“Yaudah, tapi harus
hati-hati ya Git,”
“Oke, bye”, kata Gita
seraya pergi meninggalkan Aldo
Gita kembali kedalam
mobilnya dan dengan menambah kecepatan, mobilnya melaju menjauhi Aldo yang
sedari tadi telah memperbaiki motornya yang tergeletak dipinggir jalan. Kali
ini Gita sangat hati-hati menyetir dan sejenak melupakan hayalannya tentang Gio.
Sesampainya dirumah Gita langsung mengambil BB yang ada dalam tas kuliahnya
untuk memeriksa apakah ada sms atau panggilan dari Gio. Ternyata yang ada hanya
foto mereka berdua saja ketika berlibur di pantai. Rasa kesal dan emosi kembali
menyelimuti Gita kala itu yang terbaring lemah diatas tempat tidurnya. Sambil
memuku-mukul bantal dan menghentak-hentakkan kakinya dia tengkurap. Itulah
ciri-ciri Gita kalau sudah lagi galau. Segera Gita mengirim pesan kepada Gio
“sayang...
kemana aja seh?? Aku tau koq, kalo kamu pulang jam 2 hari nih. Apa kamu gak ad
pulsa ya sayang? Sms gak dibales, telpon ga pernah lg diangkat L
nyebelin tau!! L”
5 menit kemudian BB
Gita bergetar tanda sms masuk. Secepat kilat ia menyambar BB itu dan membaca
sms masuk yang ternyata dari Gio. Gita mulai semangat dan tersenyum senang.
“sayang,
jgn marah ya. Aku tadi sibuk ga ad pegang hp.”
“sayang
kebiasaan! L”, balas Gita
“besok
ga gtu lg koq say”,
“tp
syg jgn cuek ama aku. Aku butuh prhatian loh syg! L”
“Gita!!
Knp sih gak ngerti jga? Gmna mau prhatian? Kita JAUH!!”
“L”
“LEBIH
BAIK KITA PUTUS!! AKU NGERASA GAK COCOK !!”
“Sayang jangan ngomong gtu donk,
dikit-dikit blg putus. Aku tuh sayang bgt sm mu tau! Pertahankan hubungan kita
sayang...”,
“aku bosan jarak jauh, aku ngerasa
kamu juga ga pengertian sm kesibukan aku”
“jujur, aku jg ga mau kita jauh
terus, tp kita harus sabar sayang. CINTA BUTUH PENGORBANAN!!”
“Terserah!”,
Seluruh tubuh Gita
lemas setelah membaca sms terakhir Gio. Bagai disambar petir disore hari yang
lumayan panas bagi warga kota Jakarta. Baginya lebih baik sakit gigi daripada
sakit hati. Mencintai pasangan tulus di tempat yang berbeda sangatlah
membutuhkan kesabaran, kesetiaan, dan rasa saling percaya. Semua itu sudah
dilakukan Gita selama jarak memisahkannya dengan Gio. Rasa sayangnya yang tulus
serasa tak terbalaskan dengan ketulusan juga. Pertanyaan bermunculan dalam
benak Gita. Apakah Gio telah menemukan yang baru disana? Atau dia emang nggak
pernah cinta sama Gita? Apakah karena Gita kurang cantik? Kurang baik? Kurang
perhatian??
“Aaaaaaaaa !!!”, teriak
Gita dari dalam kamar mandinya
“Gita, ada apa didalam
sayang?”, tanya Mama Gita yang buru-buru ke lantai atas tempat kamar Gita, dan
mengetuk-ngetuk pintu kamarnya
“Nggak Ma, Gita nggak
papah”, isak Gita
“Yakin sayang ?”,
“Iya”,
“Yo wes, kalau udah
selesai mandi, langsung makan malam ya Gita”,
“Hmm”,
jawab Gita singkat
***
Setelah
makan malam Gita kembali ke dalam kamar dan mempersiapkan barang-barang yang
akan dibawa untuk kuliah alam di Bandung. Setelah semua selesai Gita kembali
dengan kegalauannya. Lagu favorit yang pernah dinyanyikannya dengan Gio dulu
dipasang di BBnya. Saat reff lagu “A
thousand Year” air mata mengalir
dari pipinya.
“I have die everyday waiting for
you.
Darling don’t be afraid i have love
you for a thousand year”,
Drrtt,,
drrrtt,, drrrtt. Lagu dari MP3 Gita berhenti karena getaran tanda telepon
masuk. Nomor yang baru muncul dilayar handphone itu diangkatnya dengan
ragu-ragu.
“Halo, dengan siapa ya”
“Malem, Gita”
“Maaf, anda siapa?”
“Aldo, Git”
“Ya ampun, Aldo yang
tadi sore? Aduh, kamu beneran nggak apa-apa kan Do? Aku takut terjadi sesuatu
sama kamu loh”,
“Ga usah panik Git, i’m well. Aku Cuma mau telponan sama
kamu kok. Aku gak ganggu kan?”,
“Nggak, tenang aja.
Btw, dapat nomor aku dari siapa?
“Ada deh, oya, besok
kamu ada cara nggak? Aku mau diskusi sama kamu mengenai teknik gambar, bisa
Git?
“Oh, mudah-mudahan
bisa,”
“Oke, aku tunggu di
perpustakaan umum jam 11 ya,”
“Baiklah. See you,”
***
Besok pagi Gita
menepati janjinya pada Aldo untuk berdiskusi. Sebenarnya Gita pergi dengan
berat hati apalagi Aldo baru aja dikenalnya. Ternyata Aldo sampai lebih dulu
daripada Gita.
“Aldo, sorry ya tadi macet”,
“No matter Git, okelah kita mulai diskusi aja yuk”,
“Iya, tunggu sebentar
ya. Jadi begini Do, ada beberapa teknik dalam membuat bangunan pencakar langit.
Teknik gambar dengan dua titik lebih mudah karena...”, Gita menghentikan
penjelasannya karena tangan Aldo yang memegang jemarinya dengan lembut. Gita
hanya terdiam menatap mata Aldo dengan bibir yang sedikit ternganga. Ternyata
Aldo tak memperhatikan Gita menerangkan teori itu namun dari tadi ia
memperhatikan waja Gita. Buru-buru Gita menarik tangannya dari genggaman Aldo.
“Git, sebenarnya dari
awal kita kuliah, pertama kali melihat kamu, entah kenapa aku merasa jantungku
berdegup kencang dan ada keanehan dalam hatiku”,
“Ma.. maksud kamu
apa?”, tanya Gita linglung dan salah tingkah sambil menggaruk kepalanya yang
sebenarnya nggak gatal
“Entah angin apa yang
membawa biji cinta tumbuh di padang gurun dan biji itu disirami hujan yang
tiba-tiba turun di padang gurun yang gersang”,
“Haha, gila kamu Do,
apaan sih??”, ujar Gita dengan hati yang sebenarnya takut, gelisah, namun
tercengang karena Aldo berkata seperti itu.
“Git, aku tak ingin
mengatakannya, tapi aku harus jujur kalau sebenarnya aku mencintaimu.”, kata
Aldo lagi
“Maaf, Aldo. Sepertinya
aku harus pulang. Bye,”. Gita pergi
meninggalkan Aldo dengan perasaan sedikit kecewa karena Aldo tak serius dalam
diskusi malah menyatakan cinta padanya. Tapi, anehnya kata-kata Aldo selalu
terngiang ditelinga Gita. Aneh baginya sebab mereka baru saja bertemu empat
mata dan berkenalan secara langsung. Gita memang sedang patah hati, tapi bukan
berarti patah tumbuh hilang berganti. Kemana perginya hati Gio? Apa Gita harus
merespon Aldo? Tapi sejujurnya ia masih sangat mencintai sosok nun jauh disana.
Masih berharap Gio akan segera mengirim pesan atau menelepon untuk minta maaf
pada Gita. Ia tak tahan lagi, dan langsung sms duluan.
“Gio
sayang..
Dari
hati yang paling tulus, aku minta maaf sama kamu
Maaf
soal kemarin, aku salah sayang
Aku
egois banget L kita jangan putus ya sayang..”
Drrrtt....drrrrrrrrtttt..drrrrrtttt....
Segera Gita mengambil BBnya dan membaca sms masuk yang ternyata dari Aldo.
“Git, sorry soal tadi pagi. Terlalu
cepat untuk diungkapkan ya Git? Tapi aku akan menunggu jawaban kamu”,
“J Aldo, jujur ya aku saat ini baru
putus dari pacarku. Aku baru sakit hati, aku juga belum bisa membuka hati untuk
cowok lain. Sorry J”,
“Aku akan menunggumu sampai hatimu terbuka
untukku Git”,
***
"Oh shit !! gila
nih cowok. Bayangin aja baru sehari kenal langsung nembak. Oh my God!!”, kata
Gita kepada sohib-sohibnya saat dikampus. Gita menceritakan semua masalahnya,
Gio, Aldo, semua diceritakan. Solusi dan saran bertubi-tubi diberikan oleh
Kristin dan kawan-kawan.
“Sepertinya si Gio itu
sudah terlalu !”, ujar Kristin dengan kesalnya
“Kayaknya nggak deh,
mungkin dia lagi emosi aja, kalo kamu bujuk pasti Gio mau balikan lagi. Dia
orangnya kalo lagi ama teman-teman, lupa pacar. Tapi kalo temannya pergi semua,
dia butuh banget sama kamu Git. Dia cinta kok sama kamu, jangan sia-siakan
kesetiaannya, walau yang aku liat, dulunya dia playboy yah Git?”, tanya Rianty
sembari mengembalikan foto yang diberi Gita padanya untuk konsultasi tentang
karakter Gio yang sebenarnya
“Kamu kok tau semuanya
sih Ty? Aku juga cinta banget sama dia Ty. Gak ada sedetikpun dipikiranku untuk
putus, tau nggak. Tapi emang dia terlalu cepat ngomongnya, gak mikir dulu.. aku
sedih banget”, isak Gita sambil bersandar dipundak Rianty
“Udah, jangan nangis
donk,” hibur Sandy
“Banyak cowok yang bisa
ngasi perhatian dan cinta yang lebih dibandingkan Gio”, tambah Ningsih
“Sebaiknya kamu harus
move on, Git. Daripada mikirin dia tapi dia nggak mikirin kamu”, saran Rianty
“Belum bisa Ty”, jawab
Gita yang sibuk dengan air matanya
“Coba aja respon Aldo,
menurut pandanganku, auranya bagus. Anaknya baik, romantis, penyayang, gak
playboy, trus pinter juga”,
“Gak tau deh. Eh, liat
nih ada sms dari Aldo”,
“Baca donk”, pinta
Sandy
“Aku tunggu jawaban kamu hari ini ya Git.. J
di depan rumah kamu, aku akan datang jam 8 malam. See you J”
Gita dan sohibnya
saling bertatapan. Mereka mendukung kalau Gita segera move on dan menerima Aldo menjadi kekasihnya. Malamnya, sebelum
Gita keluar untuk menunggu Aldo, ia mencoba menelepon Gio untuk mengetahui
kepastian hubungan mereka. Namun sia-sia, nomornya tak aktif, ia langsung
mengirim sms kepada Gio untuk meminta maaf lagi. Aldo telah menunggu di depan
gerbang rumah Gita dengan membawa setangkai bunga mawar merah yang segar.
Dengan ragu dan tanpa pikir panjang Gita menerima bunga itu. Aldo menganggap
Gita menerima cintanya ketika Gita menjawab dengan senyuman pertanyaan cinta
Aldo. Gita menjalani hubungan dengan Aldo tanpa ada rasa cinta sedikitpun.
Seminggu berlalu, Gita mulai belajar jatuh hati pada Aldo disela kegalauannya
melupakan Gio. Percuma saja, tak bisa sepenuhnya ia melupakan segala kenangan
tentang Gio. Berbeda dengan Gio, Aldo setiap hari menunjukkan rasa sayangnya
yang tulus dan perhatian yang tak ada habisnya untuk membuat Gita juga
merasakan perasaan yang sama. Pernah suatu malam Gita jalan-jalan dengan Aldo
dan Gita memeluknya dari belakang. Malam itu sangat dingin hingga ia memeluk
Aldo dengan erat, tapi ketika Gita memejamkan matanya, ia membayangkan kalau
yang lagi dipeluknya adalah Gio, bukan Aldo. Sebenarnya tak kuasa lagi Gita
menahan kebohongan hatinya. Ia tak mencintai Aldo.
Pukul 03.00 WIB dini
hari, Gita sedang mengerjakan tugasnya hingga tak tidur khusus malam ini.
Tiba-tiba BBnya bergetar menandakan pesan masuk. Betapa terkejutnya Gita
ternyata pesan itu berasal dari Gio.
“Gita,
maafkan aku. Selama ini aku gak sadar, akulah yang salah. Maaf”,
Gita sangat senang
sebab telah lama menantikan sms Gio dan langsung membalasnya.
“Gio,
kemana aja sayang? Aku nunggu kamu lama banget :’)”
“Aku
disini selalu mikirin kamu sayang, aku menyesali semua yang aku katakan, aku
terlalu cuek sama orang yang sayang sama aku dan aku sayangi. Maaf banget
sayang, gak akan pernah terulang lagi semua ini. Dua hari lagi aku datang ke
Jakarta untuk temui kamu sayang”,
“Aku
maafkan sayang J aku juga kangen kamu... aku nggak
bisa tanpa kamu. Aku juga pengen ketemu kamu. Kamu jangan marah-marah lagi ya,
jangan bilang putus lagi”,
Sebelum Gita memencet
tombol send, ia mulai bimbang. Saat ini ia berstatus pacaran dengan Aldo, namun
hatinya masih pada Gio. Ia menunda untuk mengirim sms itu ke Gio dan segera
tidur agar kepalanya tidak sakit memikirkan itu semua. Kegalauan antara dua
pilihan cinta menghantui pikiran Gita. Pertimbangan-pertimbangan mulai
diseleksi oleh Gita. Dia memang bingung, dan sangat bingung. Semua telah
terjadi. Aldo telah menjadi kekasihnya walaupun tak pernah ada kata ‘iya’
keluar dari mulutnya. Sementara Gio berjanji mulai berubah dan menyesali
perbuatannya. Gio tak tau kalau Gita sudah dicintai pribadi lain dan statusnya
diakui berpacaran. Gita sengaja menyembunyikannya dari Gio karena Gio tak perlu
tau hubungannya dengan Aldo. Rencananya Gita akan memutuskan hubungannya dengan
Aldo. Saat dikampus Gita makan siang bersama Aldo. Kali ini Gita yang biasanya
periang dan selalu banyak cerita hanya bisa diam melamuni setiap detik yang
dilaluinya bersama Gio dulu.
“Sayang, kok ngelamun
terus?,” tanya Aldo
“Ah, nggak koq.. nasi
gorengnya enak Do,” jawab Gita
“Hmm,,jangan suka
ngelamun, ntar disambar pocong tau rasa,”
“Do, sebaiknya kita
udahan aja deh,”
“Uhuk, uhuk!! Apa
maksud kamu sayang?,” tanya Aldo sambil menyambar segelas jus yang didepan meja
makannya
“Entahlah,” jawab Gita
singkat
Gita pergi meninggalkan
Aldo dan berlari menuju lapangan bola hijau. Aldo menyusulnya dari belakang
dengan membawa motornya.
“Gita, apa sih maksud
kamu bilang putus?,”
“Maaf Do, aku nggak pernah
mencintaimu. Aku juga nggak pernah mengiyakan pertanyaan kamu waktu nembak aku
kan?,”
“Jadi, apa arti semua
ini Git?,”
“Aku masih mencintai
Gio,”
“Siapa dia? Mantan kamu
itu? Jadi kamu belum move on dari
dia? Git?,”
Aldo memeluk Gita dari
belakang dan tak ingin melepas wanita yang sangat mencintainya. Git, kamu tau
kan kalau pacaran jarak jauh itu gak ada yang bisa bertahan lama sayang. Aku
disini tulus mencintaimu. Sementara laki-laki itu? Adakah setulus aku?
“Tapi aku gak bisa
mencintai kamu, Do. Aldo lepasin tangan kamu dari pinggang aku!,”
“Gak akan Git,”
“Lepasin aku Do!,”
Aldo semakin brutal
memeluk Gita dan berusaha menciumnya, namun dari belakang seorang pemuda
menarik dan memukul wajah Aldo dengan geramnya.
“Dasar cowok kurang
ajar!,”
“Gio?. Kenapa kamu ada
disini? Gio hentikan! Jangan pukul dia,”
“Kenapa? Kaget? Aku
punya hak melindungi kamu Gita. Aku bohong soal kedatanganku,”. Gio menghujani
Aldo dengan pukulan dan tunjangan.
“Hentikan Gio! Aku
bilang hentikan!,”
“Oke,”
“Sekarang jelaskan siapa
dia? Kenapa dia memeluk kamu seperti itu? Haa?!,”
“Aku Aldo, aku
pacarnya,”
“Nggak Gio, nggak kok,”
“Maksud kamu apa Git?
Oh, ternyata selama ini kamu pacaran sama aku tapi mantanmu ini masih kamu
cintai? Hebat kamu Git! Aku kecewa sama kamu. Makasih untuk semuanya”,
Aldo pergi meninggalkan
Gita dan pemuda yang tak dikenalnya itu. Dengan rasa kecewa, marah, belum lagi
rasa sakit akibat pukulan Gio yang menghantaminya. Gita dan Gio duduk tanpa ada
sepatah kata pun keluar dari mulut mereka selama lebih kurang 30 menit.
Akhirnya Gio memulai pembicaraan...
“Gita,”
“Iya,”
“Aku yang salah, aku
membuat sakit hatimu. Aku salah besar membiarkan cintamu dan nggak ada respon
baik dariku. Aku nggak tau lagi mau bilang apa Git, aku nggak nyangka ada cewek
yang mencintaiku setulus cintamu. Aku nyesal sayang,” seru Gio dengan nada
memohon
“Gio, baguslah kalau kamu
udah sadar. Aku senang. Aku... aku tak pernah mengurangi rasa cintaku
sedikitpun dan memberinya untuk yang lain. Karena aku pun nggak bisa semudah
itu melakukannya. Aku cuma cinta sama kamu Gio. Semua yang udah kamu lakukan ke
aku, udah aku lupain kok. Dan cowok tadi yang selama ini baik sama aku, mengisi
hari-hariku saat kamu nggak ada, tapi asal kamu tau, aku selalu membayangkan
dia itu kamu, seandainya kamu sebaik dia, cintamu sama besarnya seperti aku
juga cinta sama kamu. Walaupun aku selalu bersama dia, aku nggak pernah bisa
melepas bayangan kamu. Hiks... kamu seharusnya sadar dari dulu Gio,” ujar Gita
disela tangisnya yang menjadi-jadi
“Sayang, jangan nangis.
Aku nggak mau liat air mata kamu. Sayang aku mohon, jangan nangis lagi. Aku
janji mulai detik ini, aku akan menjadi cowok yang paling mencintaimu. Aku akan
selamanya berada disampingmu sayang”,
“Gio, aku kangen, aku
sayang sama kamu”, isak Gita sambil memeluk Gio. Gio memeluknya dengan pelukan
tulus dan kerinduan yang mendalam.